Surat dari Sang Mantan..
Surat dari Sang Mantan
Cover Majalah Tempo yang mengangkat soal dugaan penyalahgunaan dana umat di lembaga kemanusiaan ACT. |
Tahun 2010.
Aku mengomentari status teman kantor yang menulis soal program penghimpunan dan penyaluran zakat. Komentar sederhana saja sebagai bentuk apresiasi atas kerja yang telah dilakukan.
Lalu, seorang teman lain masih dalam satu circle, sebut saja namanya Jono, berkomentar cukup pedas.
Ia menulis, "Ai sudah-sudahlah. Kalian makan dari uang zakat kan?"
Waktu itu, aku yang masih belia soal menahan emosi langsung tersulut sumbu amarah.
"Maksud kamu apa? Jangan lupa kamu dulu pernah magang, mengambil bahan skripsi dan belajar kerja di sini!", begitu bunyi komen balasanku.
Walau akhirnya Sang Jono tadi meminta maaf, dan teman kerja menghapus statusnya karena dinilai mengundang keributan. Kejadian itu membekas sampai sekarang.
Ya, saat itu aku bekerja sebagai seorang amil zakat di Yayasan Dompet Sosial Insan Mulia (DSIM) jejaring Dompet Dhuafa, sebagai relawan ahli bidang media. Bertanggung jawab menuliskan pemberitaan dan penerbitan materi publikasi lainnya.
Gaji pertama saat itu sebesar Rp.440.000 dan saat keluar di akhir tahun 2017, gajiku Rp.1.250.000 kurang lebih.
Bekerja sebagai relawan bidang zakat dan kemanusiaan bukanlah pekerjaan yang bertabur gengsi.
Seringkali, perasaan minder muncul kala harus berulangkali menjelaskan soal lembaga zakat. Soalnya saat itu, belum banyak lembaga filantropi yang bergerak di bidang pemberdayaan ziswaf (Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf)
Ungkapan nyinyir seperti komentar Jono tadi, sering menghantui. Apalagi secara akademis aku lulusan sarjana teknik dari universitas negeri di Sumsel. Harusnya aku bekerja di pabrik, bukannya bermain dengan kata-kata dan narasi.
Soal insentif, pengelola zakat masuk dalam asnaf yang berhak 'memakan uang zakat' dengan prosentase tak lebih dari 12,5 persen (QS At Taubah ayat 60).
Jadi jika sekarang lagi kencang isu soal lembaga kemanusiaan yang 'dituduh' sebuah majalah nasional, telah bergelimang kemewahan, gaji besar dan tunjangan.
Satu sisi aku merasa hujaman yang sangat kejam, keras dan brutal. Tudingan seperti itu seolah menelanjangi lembaga sebulat-bulatnya dan menggeneralisir SDM di dalamnya adalah sama = memakan donasi umat.
Padahal SDM-SDM kemanusiaan dan relawan zakat adalah mereka jiwa-jiwa muda yang terbiasa dalam dunia marjinal, meniti daerah pinggiran, memikirkan program terbaik dan masih ditambah juga untuk membuat laporan agar akuntabilitas dan layak menjalani 'bisnis akhirat' ini.
Namun di sisi lain, sebagai orang yang dibesarkan di tengah-tengah media arus utama (Aku pernah bergabung sebagai wartawan pelajar di Sriwijaya Post (1997-1999), sebagai ilustrator di harian Beritapagi (2007-2011), editor di sumselupdate.com (2015-sekarang) , aku juga harus maklum pada keistimewaan jurnalisme investigatif ala-ala Tempo ini.
Tidak mungkin mereka memuat berita besar tanpa ada upaya jurnalisme di belakangnya. Termasuk dalam hal ACT ini.
Aku tentu tidak akan langsung menuduh bahwa yang ditulis oleh Tempo sebagai suatu fitnah semata. Aku hanya coba berpikir jernih.
Adalah hal yang sangat biasa, jika dalam suatu gerbong perjuangan ada penumpang gelapnya. Begitu juga bak kata pepatah, semakin tinggi sebuah pohon, maka akan semakin deras angin yang harus ditentangnya dan akan semakin banyak pula benalu yang tumbuh di sekujur batangnya. Mulai akar hingga daun hingga merusak buahnya.
Jika kali ini ACT yang terkena, semoga ini menjadi kesempatan instropeksi 'terpaksa' yang harus diterima. Regenerasi kepemimpinan adalah perlu, perkuat pengawasan dan penegakan aturan baik internal maupun eksternal haruslah berjalan dan berimbang.
Dituduh memang menyakitkan. Apalagi yang dituduhkan itu dalam satu sudut pandang yang layaknya seperti sebuah kebenaran atau hanya sekedar pembenaran.
Namun, efek samping dari tuduhan itu pun harus bisa diukur. Apakah selanjutnya lembaga penghimpunan donasi dan kepedulian Islam akan dijauhi? Akankah relawan-relawan yang masih berada di sekitar mustahik, mengangkat harapan hidup para penyintas penyakit dan bencana akan menjadi sasaran olok-olokan dan mata-mata penuh curiga?
Adalah kewajiban kita untuk menjaga agar nafas kerelawan, filantropi dan kepedulian tidak mati mesin di tengah jalan. Karena lembaga-lembaga inilah yang mengisi kekosongan jangkauan tangan-tangan lembaga pemerintah kepada masyarakat dhuafa dan marjinal.
Wallahualam.