31 Tahun Dompet Dhuafa, Tetap Eksis Walau Tanpa Selfie
Ibadah Zakat, sudah menjadi bab yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang Muslim. Zakat mendiami level ke-3 dalam Rukun Islam, setelah Syahadat dan Shalat. Sesudah mengucapkan syahadat, maka seorang muslim diperintahkan untuk shalat dan zakat. Karena banyak ayat di dalam Al Quran yang menggandengkan Shalat dan Zakat secara bersamaan.
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Syahdan, secara tradisional, zakat dikenal di kalangan masyarakat hanya sebatas zakat fitrah saja, di bulan Ramadhan. Beberapa menambahkan zakat maal (harta) saat menyetorkan zakat fitrah ke panitia amil zakat, yang biasanya ngantor di masjid perkampungan.
Kemudian, zakat berupa beras, bahan pokok dan uang tadi akan dikumpulkan, lalu dibagikan kepada masyarakat tak mampu (mustahik) di sekitar masjid yang telah didata oleh para pengurus masjid sebelumnya.
Warga dhuafa bergembira menerima bantuan. Ada beras untuk makan beberapa hari ke depan, ada uang yang bisa dibelanjakan kebutuhan lebaran. Beli minyak goreng, beli kecap, beli lauk-pauk. Secukupnya uang yang didapat.
Sehari-dua hari, kebutuhan mereka tertutupi.
Namun, seusai lebaran, persediaan pun habis. Mereka kembali ke aktivitas semula. Yang masih punya tenaga dan sehat, akan kembali menjadi tenaga serabutan. Bekerja apa saja, yang penting bisa memenuhi kebutuhan, Yang terkategori fakir, mereka menunggu bantuan datang.
Sementara, hidup terus berjalan. Kebutuhan perut tak bisa dihindari. Yang kuat bisa puasa, yang renta menanti santunan tiba.
Dengan kondisi seperti ini, pertanyaan sederhana adalah apakah mereka harus menunggu bantuan hingga Ramadhan tahun depannya?
Sementara, saat mereka shalat Jumat, mereka bisa melihat saldo di Masjid angkanya tertulis jutaan rupiah. Setengah berharap, setengah bertanya. Mereka membetik dalam hati, tak adakah bagian untuk mereka dari angka-angka yang terus naik setiap Jumat itu?
Mereka pun menundukkan harapan. 'Sudahlah, siapa saya ini', bathinnya. Akhirnya, mereka tidak merasakan manfaat lebih dari keberadaan masjid, selain hanya untuk tempat shalat dan penanda azan saja. Mereka dan masjid pun berjarak.
Hidupnya hanyalah sebaris data, yang baru 'terlihat' setiap tahun. Sementara, sedikitnya 365 hari ke depan, mereka harus menggigit ujung sarung, dalam kondisi puasa menahan lapar dan serba kekurangan..
Mereka tak sempat memikirkan masa depan, tak sempat menyiapkan pendidikan anak mereka.
Mereka berjuang meraih rupiah setiap hari, dengan memaksakan batas kemampuan diri, kadang lupa waktu dan sering lupa menjaga kesehatan. Yang paling dasar sekalipun.
Kondisi inilah yang menjadi tesis lembaga Dompet Dhuafa saat berdirinya. Bagaimana melayani kebutuhan dasar mereka dahulu berupa pangan dan kesehatan. Baru kemudian beranjak ke pemberdayaan dan pendidikan. Dompet Dhuafa menggunakan istilah 30 Hari Jadi Manfaat.
Logikanya sederhana. Setelah perut dikenyangkan, ada bahan makanan di dapur untuk beberapa waktu ke depan. Badan sehat, tidak sakit-sakitan. Pikiran sudah tenang dan terang, barulah mereka diajak untuk bicara soal pendidikan anak dan masalah peningkatan ekonomi keluarga.
Baik memberdayakan keahlian yang telah dimiliki ataupun memberikan pengetahuan keahlian baru. Tujuannya, tak lain dan tak bukan adalah untuk lepas dari belenggu kemiskinan menjadi insan yang produktif.
Itulah filosofi pemberdayaan Dompet Dhuafa. Berikan kail, jangan sekedar memberi ikan saja.
Dalam misinya, Dompet Dhuafa tak sungkan langsung menggandeng para pakar yang sudah ahli di bidangnya. Atau para akademisi yang masih fresh hasil penelitiannya untuk dibumikan langsung kepada para dhuafa dalam program-program pemberdayaan.
Tahun 2006 sampai tahun 2009, saya sempat bergabung dengan Yayasan Dompet Sosial Insan Mulia (DSIM) di Palembang sebagai seorang relawan media. Saat itu, DSIM merupakan jejaring pengelola zakat (JPZ) dari Dompet Dhuafa.
Di sanalah saya belajar, bagaimana filantropi dari warga negara disulap menjadi sesuatu yang riil dan prestisius, dan sangat memuliakan para dhuafa.
Bagaimana Ziswaf yang berhasil dihimpun mampu menghasilkan aneka program yang sangat luar biasa untuk ukuran waktu saat itu.
Banyak anak dari kalangan dhuafa terancam putus sekolah, melalui program beasiswa, tidak hanya bisa kembali bersekolah, namun juga bisa merasakan kesempatan sekolah boarding di daerah Parung, Bogor bernama Smart Ekselensia Indonesia.
Mereka diasuh oleh para fasilitator lulusan Sekolah Guru Indonesia (SGI) dengan kurikulum eksperemintal terbaik dan tentu saja dengan fasilitas Pendidikan juga yang terbaik. Dan semuanya gratis!
Itu baru contoh kecil saja apa yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa.
BTW, sampai sekarang, saya masih saja berdecak kagum dengan berbagai ratusan - bahkan mungkin sudah mencapai ribuan, inisiasi Dompet Dhuafa dalam membuat program-program kreatif yang mempau membaca dinamika kebutuhan masyarakat dhuafa.
Kenangan sepulang mengawal hewan kurban dalam program Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa di daerah Jalur 19, Banyuasin. (Saya mengenakan koko putih dan peci) [Kredit Foto : Anton Dacarola) |
Contoh saja program THK alias Tebar Hewan Kurban.
Saya tak pernah menyangka, bahwa di saat banyak masjid di sekitar tempat tinggal kita berkelimpahan hewan kurban. Ditandai, kadang satu rumah saja, bisa dapat 2-3 kantong daging kurban dari masjid yang berbeda.
Sementara di tempat-tempat terpencil dan terpelosok, justru sudah sekian tahun tidak ada yang berkurban. Jangankan makan dagingnya, melihat sosok kambing dan sapi saja mereka tidak pernah melihat langsung.
Saya tahu persis hal itu, karena saya dan beberapa orang relawan beberapa kali diutus mengawal hewan kurban ke daerah pinggiran kota sampai ke pelosok kabupaten di Sumatera Selatan. Menginap di rumah warga, ikut shalat Ied lalu ramai-ramai menyaksikan prosesi penyembelihan hewan kurban.
Masih terbayang, wajah-wajah mereka, dari yang kecil sampai tua, berbinar-binar melihat wujud sapi yang sedemikian besar.
Sapi itu, kami kawal pengantarannya menggunakan truk sore hari menjelang pergantian tanggal 10 Dzulhijjah tahun itu. Meski saya hanya mengantarkan saja, tapi perasaan saat itu sungguh luar biasa. Padahal itu bukan sapi kurban saya ya. Saya tidak kenal dengan warganya. Dan warga pun tidak ada yang mengetahui siapa yang berkurban. Hanya ada nama-nama para pekurban saja yang ada di kertas laporan.
Sebagai relawan saja, ada kebahagiaan yang begitu membuncah. Apalagi mereka yang menerimanya?
Kunjungan ke daerah perairan Desa Sumber Makmur, Banyuasin, dalam rangka Workshop Pertanian Lahan Suboptimal. |
Dompet Dhuafa, Mereka Profesional maka Mereka Ada
Kecerdasan dan profesionalitas dalam membuat program-program seperti inilah, yang akhirnya membuat Dompet Dhuafa tetap eksis lebih dari tiga dekade, walaupun tanpa selfie, tanpa membanggakan diri.
Dompet Dhuafa berhasil memuliakan para dhuafa tanpa menjatuhkan harga dirinya. Mereka didata para relawan dengan santun, tanpa tahu siapa yang memberi.
Mereka didatangi dari rumah ke rumah. Tanpa kupon, tanpa antrian. Tak ada biaya fotokopi, tak ada biaya transport. Bahkan seringkali para relawan dengan menahan air mata yang telah menghangat, mengangsurkan uang barang sepuluh-dua puluh ribu ke dalam genggaman ibu-ibu tua nan sepuh atau anak-anak berambut kuning, kusut masai. Dari uang pribadi.
Sebaik-baik kebaikan, adalah kebaikan yang menular di antara orang-orang baik.
Sementara kami para relawan berkesempatan memetik kebaikan dengan berperan sebagai kran penyalur donasi ziswaf. Di sisi lain, donatur pun terjaga dari perasaan berkemampuan.
Karena mereka tidak bertemu langsung dengan para mustahik (penerima manfaat-red). Jangankan bertemu, tahu pun tidak. Kecuali hanya sebatas laporan rutin yang dikirimkan oleh Dompet Dhuafa setiap bulannya. Sebagai sederet angkat dan saldo donasi. Demi menjaga transparansi dan pengrapian laporan keuangan saja.
Dedikasi dan Akuntabel
Sebagai sebuah NGO, Dompet Dhuafa telah lepas dari segala jerat yang biasanya membayangi eksistensi lembaga non pemerintah. Seperti ketiadaan sumber dana, rendahnya profesionalisme karena latar belakang profesi aktivis yang beraneka ragam, dan konsep idelogi yang tidak jelas.
Tidak. Dompet Dhuafa jauh-jauh hari sudah memperhitungkan hal itu.
Dalam lingkungan bisnis sosial (Social Entrepreneurship), trust tetap menjadi mata uang yang berlaku abadi. Dompet Dhuafa telah menyiapkan hal itu dan telah berbukti bertahan hingga saat ini.
In the end of the day, saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun yang ke-31 Tahun kepada Dompet Dhuafa, semoga tetap eksis tanpa walau tanpe selfie. Tetap berdikari tanpa membanggakan diri. Senantiasa menjadi trend setter dalam mengkreasikan program-program pemberdayaan.
Sebagai penghulu, tentu akan banyak yang mengekor di belakang. Itu bukanlah sebuah hal yang buruk, jika kreasi program DD banyak dijiplak oleh 'toko sebelah'.
Karena sejak awal berdiri, semangat Dompet Dhuafa adalah menciptakan jejaring kebaikan. Semakin banyak mitra, maka semakin banyak pula yang akan terbantu.
Konklusi
Di tengah disrupsi dunia mobile digital sekarang ini, saat sesuatu bisa dicipta dan ditiru dengan begitu mudah, Dompet Dhuafa bakal menghadapi tantangan berat. Tantangan tidak lagi dalam bentuk goliath - raksasa besar yang jelas wujudnya.
Tantangan itu bisa berasal dari personal-personal yang kini sudah bisa melakukan funding sendiri, melakukan sebaran sendiri. Utamanya para influencer yang bisa merangkul erat para Gen Z dan Gen Alpha.
Ini bisa menjadi pisau bermata dua. Satu sisi, kehadiran para influencer ini bisa menjadi bagian kolaborasi. Satu sisi, jika mereka tergoda untuk fraud dengan donasi yang dikumpulkan, akan membawa dampak negatif dalam dunia filantropi.
Dompet Dhuafa harus terus terjaga, terus beradaptasi, terus berjiwa muda dalam menciptakan inovasi-inovasi program pemberdayaan.
Semoga Dompet Dhuafa tetap dapat terus bertumbuh bersama para donatur, fasilitator hingga dhuafa yang dibina. Dan terus menularkan kebaikan di negeri tercinta ini. Tabik.
---
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog 31 Tahun Dompet Dhuafa Melayani Masyarakat”