Dan Inipun Juga akan Berlalu
Alkisah, diceritakan dalam satu episode waktu. Seorang raja yang bijak tengah merenung di singgasananya.
Memasuki usianya yang telah memasuki setengah abad, ia ingin menghadiahkan hadiah istimewa kepada dirinya sendiri. Maka, Sang Raja pun memanggil tukang emas untuk membuatkan sebuah cincin dan menuliskan sebuah kata yang akan diukir di cincin kebesaran sang raja.
"Tuliskanlah sesuatu yang bisa kamu simpulkan dari seluruh perjalanan hidupmu. Supaya itupun bisa menjadi pelajaran untuk hidupku. Sebuah kalimat yang akan selalu benar di saat baik maupun di saat yang buruk," pesan Raja kepada tukang emas kepercayaannya itu.
Tukang Emas itu pun menyanggupinya. Membuat sebuah cincin tidaklah terlalu lama, karena memang itu keahliannya. Bagian tersulit adalah memikirkan kalimat apakah yang akan ia tuliskan di cincin itu.
Berbulan-bulan ia membuat cincin itu, sampai kemudian cincin itupun selesai, dan ia pun menghadap kepada Sang Raja.
Dan dengan tersenyum, raja pun membaca tulisan yang ada di cincin tersebut. Dan Inipun akan Berlalu.
Awalnya Sang Raja tidak terlalu paham dengan tulisan yang ada di cincin tersebut. Ia pun langsung bertanya kepada Sang Tukang Emas.
Namun, Sang Tukang Emas berujar, kalimat itu akan sangat berguna untuk anda. Dan raja akan mengerti arti kata-kata tersebut dengan sendirinya.
Tahun demi tahun berganti. Hingga pada suatu ketika keadaan kerajaan sedang kacau dan Sang Saja yang sedih dan kalut karena perang, tidak sengaja membaca tulisan di cincinnya, dan inipun akan berlalu.
Rajapun kembali tenang setelah membaca kalimat tersebut.
Dan ketika kerajaan sedang dalam masa jayanya, Sang Raja kembali membaca tulisan di cincinnya, dan inipun akan berlalu.
Kemudian Sang Raja kembali rendah hati.
Kalimat ini menjadi semacam mantra untuk kita semua, bahwa semuanya akan berlalu. Ini akan membuat kita menikmati dan menghargai setiap hal yang kita lalui.
Menikmati waktu sekarang, dengan tidak menyesali masa lalu, serta tidak terlalu mengkhawatirkan masa yang akan datang.
Kisah di atas diperkirakan berasal dari abad pertengahan, dan ditulis oleh seorang filsuf asal Persia.
Dan dalam perjalanan pribadi - terutama setelah menikah, kalimat bijak ini terasa sangat relate. Tidak semua hal harus dikhawatirkan. Jalani saja dengan sungguh-sungguh dan berprasangka baik kepada Allah swt serta senantiasa husnudzan kepada orang lain.
Pengalaman Diri
Siapa sangka, hidup kami telah sampai di penghujung tahun 2024, tepatnya di Bulan Oktober.
Jika mengingat kembali masa-masa sulit sejak masa Pandemi Covid 2019. Siapa sangka jika semuanya bisa kami lalui.
Dan kami yakin, bukan kami saja. Mungkin juga sebagian besar kawan-kawan semua bisa selamat sampai di titik saat ini. Kita semua adalah penyintas masa-masa yang sulit.
Jika terus khawatir dan overthinking, maka kami berdua mungkin yang paling duluan stres.
Dari mana uangnya?
Anak beranjak tamat SD dan mulai masuk ke fase pendidikan menengah pertama.
Tahun 2019 argo hutang kredit rumah sudah mulai jalan.
Tahun 2020, anak pertama Siti Nayla masuk ke pondok.
Tahun 2020 - 2021, Pandemi menerjang. Penghasilanku dipangkas separoh karena kantor memberlakukan satu hari masuk, satu hari libur. Meski berat, paling tidak masih ada pekerjaan. Di saat banyak tempat usaha yang terdampak oleh pandemi ini.
Akhir 2023, tepatnya Nov 2023 - Feb 2024 - Aku menganggur. Mengandalkan usaha sampingan yang ternyata belum bisa jalan maksimal. Sehingga aku kembali ngantor masuk kerja.
Tahun 2024, dua anak sudah masuk pondok. Ayuknya Siti Nayla Adz Dzikra sudah duduk di tingkat V (setara kelas 2 SMA) di Ponpes Darussalam Gontor Putri 1 (GP 1), Mantingan Jawa Timur. Dan adiknya, Muhammad Fathir Maulana, masih berstatus Calon Pelajar di Ponpes Darussalam Gontor 2 (Gorda), Desa Siman, Ponorogo, juga di Jawa Timur.
November 2024, cicilan rumah tinggal 12 bulan lagi.
Alhamdulillah, sampai di titik ini, kami berdua tetap sehat - insya allah senantiasa dalam lindungan-Nya.
Kondisi keuangan dan kebutuhan rumah tangga, telah menyudutkan kami dalam kondisi hidup pas-pasan. Nyaris kekurangan.
Jika diukur dari kacamata 'ekonomi seharusnya' atau perencanaan keuangan, boleh jadi sebenarnya kami hidup kekurangan.
Gaji 95% habis untuk bayar SPP dua anak dan cicilan rumah.
Selain gaji, ada pemasukan dari freelance web dan desain grafis serta dari percetakan rumahan. Jumlahnya tidak tentu, waktunya pun juga tidak bisa dipastikan.
Meski tidak tetap, semuanya bisa mengimbangi. Tidak terlalu berlebihan jumlahnya, namun juga tampias riak-riaknya mungkin mendekati minus. Ngeri-ngeri sedap, gemetar halus.
Kalo sekedar untuk makan-minum, bayar cicilan, SPP anak, ongkos mingguan anak, ongkos BBM dan pulsa masih bisa di-cover.
Ada saja pemasukan yang masuk bisa menutup. Lewat bulan ini, bulan depan bisa menutup dua. Nunggak sebulan, lunas bulan depan. Begitu.
Kondisi tersudutkan secara ekonomi, mau tak mau membuat kami menjadi lebih yakin akan konsep Rezeki dari sang Pencipta.
Keyakinan begitu diuji di lapangan. Saat kami bilang yakin, maka kami akan diuji. Tapi meski ada ujian, lisan ini masih begitu ringan bilang, insya allah nanti ada rezeki-Nya. Meski sampai kata-kata itu lepas dari bibir, belum ada tampak hilal sedikitpun soal kepastian datang rizki itu.
Pemasukan seperti seret dan gelap.
Sampai di titik kami di persimpangan untuk memaksimalkan ikhtiar - seperti berniat meminjam uang ke saudara atau meminta lokak pekerjaan kepada teman- meskipun akhirnya tidak jadi.
Allah dengan caranya sendiri, mendatangkan rezeki dari sumber yang tidak diduga.
Sebagai contoh saat sekarang aku mau jemput istri ke Ponorogo.
Paling tidak aku harus menyiapkan uang untuk membeli 3 buah tiket Pergi-Pulang (PP), Palembang - Ponorogo, Rp 2,1 juta.
Tapiii.. saat pulang dari proyek shutdown, Pak Bos bilang. Karena kondisi project yang hampir minus. Maka tidak ada uang bonus bagi kami para staf. Tidak ada bonus, tidak ada lembur dan tidak ada uang dinas luar.
Tok, hanya terima uang gaji saja. Dan seperti ditulis di atas, uangnya sudah terserap untuk kebutuhan rutin.
Huff.. aku menghela nafas panjang. Padahal sebelum mengiyakan ikut shutdown dan berangkat, aku berharap bakal ada insentif uang lembur atau dinas luar untuk menambah ongkos. Karena shutdown ini sendiri berlangsung 15 hari di lokasi pabrik PT TEL Prabumulih.
Tapi apa mau dikata. Omongan Pak Bos tentu beralasan, tidak mungkin aku ngotot meminta sementara perusahaan memang lagi pas-pasan.
Aku pun mengutarakan kepada istri soal kondisi kantor. Seperti biasa, dengan gaya ringan, seolah bukan masalah besar. Dan dengan santai istri juga cuma bilang, ya mau gimana lagi, belum rezekinya..
Ya, sebenarnya masih ada uang Rp 1juta sisa dari pesanan paper bag dan tumbler bulan kemarin, yang akan aku siapkan untuk membeli tiket. Minimal untuk keberangkatan aku dulu.
Antara khauf dan roja', Allah menghiburku, saat tiba-tiba Ibu Yani dari Poltekkes Depkes Palembang, pesan 30 buku, dan alhamdulillah bisa dapet laba Rp 1 juta. Senang hatiku penuh syukur.
Dan rasa syukur akupun langsung diuji.
Ndilala.., Sabtu (12/10) motorku mogok di kawasan KM 5 Palembang. Setelah dicek di bengkel, ternyata hilang kompresi. Aku pasrah, ini artinya sudah masanya untuk turun mesin. Diduga, karena motor sudah makan oli. Maklum motornya sudah tidak pernah servis lagi.
Dan untuk semua komponen ditambah jasanya, total yang aku keluarkan Rp.920.000,-
Hehe.. Aku nggak bisa ngomong apalagi. Cuma mengingatkan diri soal iman kepada qada dan qadar. Takdir baik dan takdir buruk.
Dan Inipun akan Berlalu.
Lalu Allah kembali menghibur, ketika Pak Prof Agoes Tony (Rektor Universitas Sjhakyakirti-red) mengirim WA, order cetak ulang buku sebanyak 50 eksemplar. Dan setelah aku hitung, aku bisa mendapat laba sebesar Rp.1,7 juta. Masya allah, tabarakallah..
Jadi untuk urusan tiket, sudah aman. Sisanya untuk akomodasi istri di Ponorogo (istri kost) dan uang mingguan Siti dan Fathir.
Alhamdulillah..
Percaya nggak percaya, kejadian demi kejadian seperti ini biasa terjadi dan seringkali berulang. Polanya pun hampir sama.
Tapi tetap tidak bisa diterjemahkan dalam hitungan matematika sederhana.
Karena di dalamnya ada unsur keyakinan, lalu keyakinanku diuji.
Di dalamya juga ada ikhtiar, lalu ikhtiar kami diuji hingga hampir titik kepasrahan, antara pasrah dan ingin menyerah.
Baru setelah memang masanya, pertolongan dari Allah datang dengan caranya sendiri. Bahkan seringkali tidak disangka-sangka asalnya. Beneran, asalnya tidak disangka-sangka.
Contohnya gini : Teman yang sekian tahun tidak pernah menghubungi, tahu-tahu menelpon, berbasa-basi lalu akhirnya meng-hire layout buku.
Ada juga, konsumen yang jukira sudah melupakanku gara-gara suatu insiden, tau-tau order ulang buku hingga puluhan pcs.
Atau, tiba-tiba ada yang nelpon minta layout tabloid. Kenal nggak, baru kali itu menghubungi, langsung bayar DP 50% untuk jasa layout. Pas aku tanya, tau nomorku darimana, rupanya datang dari blog pakdezaki ini.
Coba, siapa yang mengatur semua ini? Jika bukan Allah Swt.
Yang epik nih, pernah juga lagi buntu-buntunya, konsumen lama yang dulu CLBK alias Chat Lama Beli Kagak, ee.. tiba-tiba WA dan memberikan order desain buku yang urgen. Dia bersedia bayar Rp2 juta rupiah, asal pekerjaannya selesai sebelum presentasi esok siang jam 12 plus cetakan buku sekira 10 pcs.
Asal tau saja, posisi ia nelpon itu jam 20.00! Mepet dong waktunya,, iya. Ambil? Iya dong, masak ditolak.. hehe
Masya Allah, tabarakallah.. Yah, polanya memang terbaca seperti itu.
Yang pasti, setelah memasuki usia kepala 4 ini. Keyakinan akan pertolongan Allah itu semakin kuat. Seiring pula dengan ujiannya yang semakin meningkat. Namanya ujian, ya tentu rasa dan bentuknya pun beda-beda.
Satu pola lagi yang mulai aku pahami belakangan ini. Setiap ucapan yang terbersit di hati ataupun dituliskan sebagai status Facebook, setiap keyakinan yang mulai tertanam dalam diri dan setiap ilmu baru yang aku dapatkan, semuanya akan diuji.
Kadang aku lulus, kadang pula tidak lulus dengan ujian itu. Tapi rezeki dari Allah tetap datang. Betapa ini menunjukkan bukti sifat Rahman dan Rahim-Nya.
Wallahualam.
Semoga bermanfaat, Tabik!